Cattleya aurantiaca

<i>Cattleya aurantiaca</i>

Vanda tricolor

<i>Vanda tricolor</i>

Coelogyne pandurata

<i>Coelogyne pandurata</i>

Phalaenopsis amabilis

<i>Phalaenopsis amabilis</i>

Sejarah Perkembangan Teori Kultur Jaringan

26.4.12




Sejarah kultur jaringan sebenarnya sejalan dengan sejarah perkembangan botani. Beberapa ahli jaman dulu sudah meramalkan bahwa perbanyakan kultur jaringan dapat dilaksanakan. Pemikiran ini didasarkan pada penemuan para ahli yan mendahului mereka serta penemuan mereka sendiri. (Katuuk, 1989).

Pada abad 17 seorang ahli matematika Robert Hooke telah menemukan sel. Ia mengatakan bahwa sel-sel dapat disamakan dengan batu-batu bangunan alamiah.

Kemudian pada tahun 1838 -1839, seorang ahli Biologi M. V. Schleiden dan Theodore Schwann yang telah memfokuskankan perhatiannya pada kehidupan sel, menemukan satu konsep baru, bahwa satu sel dapat tumbuh sendiri walaupun telah terpisah dari tanaman induknya. Mereka mengemukakan bahwa segala peristiwa rumit yang terjadi dalam tubuh organisme selama hidup, bersumber pada sel. Dari konep inilah tumbuh pernyataan bahwa satu sel mempunyai kemampuan untuk berkembang. Sel berkembang dengan jalan regenerasi sehingga pada satu saat akan terbentuk satu tanaman sempurna. Kemampuan regenerasi ini disebut “totipotency”. (Katuuk, 1989).

Beberapa ahli yang juga telah bekerja mengisi sejarah perkembangan Botani abad 19, adalah Charles Darwin, Louis Pasteur, Justus Van Liebig, Johan Knopp, dan Rechinger. Charles Darwin dikenal dengan julukan “raja penamat”, menemukan hormon pada koleoptil sebangsa rumput. Kemudian Louis Pasteur yan menentang aliran “generatio spontanea” mengemukakan pentingnya sterilisasi. Pada akhir abad 19, Johan Knopp (1817 – 1891) menemukan 10 unsur hara yan penting bagi pertumbuhan tanaman. Dengan penemuannya ini ia dikenal dengan “Knop’s Solution”, beberapa tahun setelah Knopp, Rechinger (1893) telah mencoba mengambil potongan kecil batang poplar dan beet, kemudian memelihara bahan-bahan ini di atas kertas filter lembab. Dari percobaan ini ia menemukan pertumbuhan kalus. Dengan mengurangi ukuran potongan tanaman akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ukuran yang paling baik adalah ukuran kecil namun tidak kurang dari 1,5 cm. (Katuuk, 1989).

Kira-kira pada permulaan abad ini, beberapa ahli botani mengembangkan suatu teori, bahwa sel atau jaringan tanaman pada dasarnya dapat ditanam secara terpisah dalam suatu kultur. Sel dan jaringan yang ditanam dengan cara ini memiliki kemampuan untuk regenerasi bagian-bagian yang diperlukan, dalam upayanya untuk bisa tumbuh dengan normal, membentuk kembali menjadi tanaman yang utuh. (Whaterel, 1982).

Dengan kata lain, bahwa di dalam masing-masing sel tanaman mungkin mengandung informasi genetik atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai. Kemampuan inilah yang kemudian dikenal sebagai totipotensi. (Whaterel, 1982).

Pada permulaan abad ke 20 konsep totipotensi terus dikembangkan. Gottlieb Hamberlant seorang ahli Botani bangsa Jerman pada tahun 1902 melanjutkan konsep totipotensi ini secara bersungguh-sungguh. Ia menekankan bahwa embrio tanaman dapat tumbuh dengan jalan memelihara sel-sel vegetatif. Walaupun percobaannya gagal namun ia memastikan bahwa sifat totipotensi yan dimiliki oleh sel menyebabkan sel dapat dipisahkan dan dipelihara pada media tumbuh. Bila medianya cocok, sel yang dipisahkan itu akan melanjutkan kehidupannya dan berkembang menjadi satu tanaman baru (Kyte 1987, dalam Katuuk, 1989).

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk membuktikan pendapat ini. Namun pada saat itu belum berhasil, karena kurangnya pengetahuan para peneliti, khususnya dalam hal kebutuhan nutrisi dan hormone untuk pertumbuhan. Baru beberapa waktu kemudian, yaitu sejak diketemukannya dua macam hormon tanaman, yaitu asam indol asetat dan asam naftalenasetat, telah mulai berhasil dilakukan kultur organ (1920). kultur jaringan (1939). Hingga sekarang kedua hormon tanaman tersebut diyakini memiliki peranan sangat penting artinya dalam kultur jaringan modern. Pada masa-masa tersebut, yaitu masa-masa awal dimana era kultur jaringan baru mulai dikenal, jarang sekali orang dapat berhasil melakukan regenerasi akar, pucuk tanaman, dan organ tanaman lain secara kultur jaringan, sehingga pada saat itu orangpun mulai mempertanyakan kebenaran teori totipotensi tersebut. (Whaterel, 1982).

Sesudah Hamberlant, menjalani tahun-tahun pada abad 20, penelitian tentang kultur jaringan tanaman berkembang pesat. Berikut ini adalah rentetan peristiwa penting yan mengisi sejarah perkembangan kultur jaringan sesudah Hamberlant, dirangkum dari Pierik, (1987), Gautherett (1982), dan Butenko (1968).

Keterangan ini disusun secara sistematik menurut tahun penemuan :

1922 Knudson menemukan germinasi asimbiotik biji tanaman angrek secara in vitro.
Pengembangan metode kultivasi kultur jaringan dimulaikan oleh dua oran saintis yang sudah bertahun-tahun berusaha bekerja di bidan ini. Mereka adalah White P., dan Gautheret R.

1934 White P., sesudah bertahun-tahun gagal, pada tahun ini berhasil mengkulturkan ujung akar tomat. Pada tahun yang sama Gautheret L., mengkulturkan in vitro jaringan kambium tanaman Acer pseudoplanatus, Salix caparaea, dan Sambucus nigra. Pada saat ini ide tentang kultur jaringan dapat dikatakan sudah tercapai namun oleh karena eksplant tidak dipindahkan ke media yang baru, maka perkembangan terhenti sesudah berumur 15 – 18 bulan. Dikatakan bahwa pada saat itu media ternyata kekurangan beberapa unsur yang berfungsi untuk pembelahan sel.

1939 P. R. White seorang peneliti dari Amerika (yang sekarang dianggap sebagai Bapak Kultur Jaringan) melaporkan sejumlah hasil penelitiannya tentang keberhasilan ia menumbuhkan sejumlah tunas dari potongan-potongan kalus tembakau yan ditanam dalam medium cair. (Whaterel, 1982).

Walaupun sampai saat itu ia belum berhasil menumbuhkan akar dari tunas-tunas yang diteliti, suatu lankah maju di bidang perbanyakan kultur jaringan telah berhasil dicapai dalam upaya untuk membuktikan sebagian kebenaran dari teori totipotensi. (Whaterel, 1982).

1940 Seorang ahli yang lain, Folke Skoog, ahli fisiologi tanaman dari Universitas Winconsin pada tahun melanjutkan penelitian-penelitian yang dilakukan White dan telah berhasil membuktikan, bahwa hormon-hormon auksin, yaitu IAA dan NAA (yang pada waktu itu dikenal sebagai pemacu pertumbuhan akar dari potongan-potongan dahan), ternyata mampu menghambat awal pertumbuhan tunas. Selanjutnya dengan percobaan-percobaannya menggunakan kultur jaringan tembakau, dia mulai mencari senyawa-senyawa kimia yang dapat berinteraksi dengan senyawa-senyawa auksin serta senyawa-senyawa yang memacu pertumbuhan tunas. (Whaterel, 1982).

1941 Van Overbeek mula-mula menggunakan air kelapa (yang mengandung faktor perangsang pembelahan sel) dalam mengkulturkan embrio Datura.

1943 White menerbitkan bukunya “A Handbook of Plant Tissue Culture” yang memuat pengetahuan serta hasil penemuan pada jaman itu.

1944 Skoog mula-mula mendapatkan tunas adventif dari hasil kultur jaringan.

1945-1946 Loo Shi Wei, pertama-tama mengkulturkan apex batang.

1949 Vaccin dan Went menciptakan medium Vacin dan Went.

1950 Folke Skoog bersama-sama dengan muridnya berhasil menemukan adanya efek pemacu pembentukan tunas yang disebabkan oleh senyawa-senyawa fosfat anorganik maupun senyawa-senyawa organic, yaitu adenine dan adenosin. (Whaterel, 1982).

1952 Morel dan Martin pertama-tama menemukan dahlia yan bebas virus dari hasil kultur meristem.

1954 Muir et al pertama-tama mendapatkan tanaman dari kultur sel. Wetmore, R. H., dan Sorkin S., mengembangkan teori Hamberlant tentang organogenesis yan sekarang dikenal dengan mikropropagasi.

1955, kelompok Skoog menemukan kinetin, yaitu hormone golongan sitokinin yang pertama kali ditemukan. (Whaterel, 1982).

1957 Skoog dan Miller melaporkan hasil penelitian mereka yang sekarang telah dianggap klasik,yaitu mengemukakan ratio sitokinin dan auxin untuk mengatur pembentukkan organ. Mereka menulis satu artikel tentan “Chemical Regulation of Growth and Organ Formulation in Plant Tissue Cultured in Vitro” mengenai keterkaitan kedua golongan hormone, auksin dan sitokinin dalam pengaturan regenerasi akar dan tunas. Penelitian ini selanjutnya menjadi landasan berbagai upaya pembiakan secara kultur jaringan. (Whaterel, 1982).

Skoog menyadari besarnya potensi ekonomi dari hasil penelitian-penelitiannya, selanjutnya semakin menekuni bidang kultur jaringan bersama-sama murud-murid dan teman-temannya. (Whaterel, 1982).

Torrey J. C., mendemonstrasikan pembelahan sel yang diisolasikan.

1958 Reinert dan Steward, menemukan regenerasi proembrio dari suspensi sel Daucus carota.
K. V. Thimann dari Universitas Harvard melaporkan penemuan-penemuannya pada beberapa kali penerbitan yang dimulai tahun 1958, bahwa hormon-hormon sitokinin mampu melawan efek pertumbuhan tunas apical. Dan mereka berhasil pula membuktikan, bahwa kinetin bersifat memacu pertumbuhan tunas lateral yan biasanya tidak terlihat nyata akibat penaruh dari tunas apical pucuk tanaman. Hal inilah yan selanjutnya menjadi dasar fisiologis dalam upaya meningkatkan jumlah cabang-cabang lateral, yang seperti diketahui sangat penting artinya bai pembiakan secara kultur jaringan. Dalam tahun-tahun berikutnya, banyak peneliti yan memberikan sumbangan pengetahuan yang menunjang keberhasilan usaha pembiakan secara kultur jaringan tersebut.

1960 Cocking E. C., memperoleh sejumlah protoplast dengan jalan degradasi dinding sel menggunakan enzyme.

Morel mempropagasikan tanaman angrek melalui kultur meristem.

1962 Murashige T., dan Skoog F., mengembangkan formulasi media kultur yan amat terkenal dan sampai sekarang dipakai di dunia internasional, yaitu media Murashige-Skoog. (Whaterel,

1982). Di sini peranan Murashige sangat penting artinya, karena selain telah memberi sumbangan pengetahuan dasar kultrur sel dan jaringan, usahanya telah mengarah ke penerapan di bidang pembiakan secara kultur jaringan dalam skala komersial. Murashige bersama murid-muridnya di Universitas California telah menyusun prosedur lenkap pembiakan kultur jaringan dari sejumlah besar spesies tanaman yang diketahui bernilai ekonomi tinggi. Pengembangan hasil karya tersebut selanjutnya mendorong pertumbuhan industri-industri pembiakan secara kultur jaringan di Amerika Serikat. (Whaterel, 1982).

1964 Guha S., dan Maheshwari S. C., mendapatkan embrio haploid yan berkembang dari sel polen tanaman Datura.

1965 Vasil dan Hamberlant, berhasil mendapatkan differensiasi sel tembakau yang diisolasikan.

1967 Bourin J. P., dan Nitch J. P., mendapat tanaman haploid dari kultur serbuk tembakau.

1969 Erickson & Jonassen melakukan isolasi protoplas dari suspensi sel Hapopappus.

1970 Power melakukan fusi protoplas.

1971 Takebe et al mula-mula mendapatkan tanaman hasil regenerasi protoplast.

1977 Chilton, et al berhasil mengintegrasikan DNA T-plasmid dari Agribacterium tumefaciens pada tanaman.

1981 Larkins dan Skowcroft, pertama-tama memperkenalkan variasi somaklonal.
(Katuuk, 1989).

1985 Perkembangan transfer gen pada tanaman berkembang cepat, seperti penggunaan Agrobacterium, particle bombardment (gen gun), electroporasi, mikroinjeksi.

1990 Perkembangan rekayasa genetik dan metabolic pada tananaman berkembang dengan pesat. Pemasaran produk-produk rekayasa genetik.



0 komentar:

Post a Comment